Rabu, 26 Mei 2010

Tulisan-tulisan penulis tentang ulama Betawi yang masih terpampang di dunia maya telah menarik perhatian salah seorang pemikir muda Islam yang dimiliki Indonesia, Ismail Fajrie Alatas, yang kini bermukim di Singapura karena pekerjaannya sebagai dosen sejarah di National University of Singapore (NUS)

Pembaca setia Republika tentu mengenal sosok pemuda yang akrab dipanggil “Ajie” ini karena oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra pernah dijadikan nara sumber di kolom Resonansi. Ketertarikan Ajie terkait dengan tesis S-2-nya yang mengupas tentang tokoh-tokoh habaib di Betawi membawanya ke Jakarta Islamic Centre (JIC).

Topik menarik yang dibicarakan dengan penulis adalah persoalan pola interaksi habaib dengan ulama di Betawi. Salah satu kata kunci dari pembicaraan ini adalah habaib. Habaib merupakan bentuk jamak dari kata habib yang menurut kamus Wikipedia diartikan sebagai keturunan Nabi Muhammad saw. melalui Fatimah az-Zahra. Masih dari kamus yang sama, Indonesia merupakan negara yang memiliki habib terbanyak di dunia, yaitu sebanyak 2 juta, sedangkan yang masih hidup sebanyak 1,2 juta. Sementara di seluruh dunia tercatat 20 juta habib (muhibbin) yang terbagi 114 marga. Hanya keturunan laki-laki saja yang berhak menyandang gelar habib. Di Betawi, habaib memiliki arti sebagai orang-orang Arab dari Hadramaut, Yaman yang merupakan keturunan Nabi Muhammad saw. dan menguasai ilmu-ilmu ke-Islaman.

Di dalam kajian genealogi intelektual, mengetahui pola interaksi dapat mengungkapan “bahan dasar” atau orisinalitas ide yang mempengaruhi corak pemikiran habaib dan ulama di Betawi hingga sekarang ini. Misalnya, sebagian besar kitab-kitab yang digunakan oleh guru-guru dari Syaikh KH. Mohammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary, diantaranya Guru Asmat, H. Mukhoyyar, mu`alim H. Ahmad, mu`alim KH. Hasbialloh, mu`alim H. Anwar, H. Hasan Murtaha, syekh Muhammad Tohir, Guru Manshur Jembatan Lima, Ahmad bin Muhammad, KH. Sholeh Ma`mun (Banten) dan Syeikh Abdul Majid yang oleh Ajie dikatakan sangat bercorak hadrami ( berasal atau dipengaruhi oleh pemikiran para habaib).

Namun demikian dalam interaksi keduanya, menurut penulis, polanya berbeda dengan yang terjadi di tempat-tempat lain, dan ini mengubah hipotesis yang dipegang Ajie bahwa ulama di Indonesia adalah cultural brokers dari para habaib, ulama adalah kepanjangan dan promotor dari habaib, sebagaimana yang diteliti Ajie di Jawa Tengah. Dengan kata lain, ada stratifikasi dalam bentuk hierarki status dimana habaib memiliki posisi yang lebih tinggi daripada ulama.

Di Betawi, tidak ada hierarki status, posisi habaib setara dengan ulama. Bahwa benar banyak ulama besar Betawi, seperti KH. Abdullah Syafi`i, KH. Tohir Rohili, KH. Fatullah Harun, KH. Hasbialloh, KH. Ahmad Zayadi Muhajir, KH. Achmad Mursyidi, syaikh KH. Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary, mu`allim KH. M. Syafi`i Hadzami, dan mu`allim Rasyid berguru kepada habaib terkemuka di Jakarta, yaitu kepada Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi (dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang) dan kepada Habib Ali Bin Husien Al-Attas (dikenal dengan nama Habib Ali Bungur). Ulama Betawi lainnya berguru juga kepada Habib Salim Bin Jindan, Otista, Jakarta Timur. Tetapi pada saat yang sama, ulama Betawi tersebut juga berguru kepada para kyai dan tuan guru yang asli Betawi yang sebagian besar tidak pernah berguru kepada habaib di Indonesia. Bahkan, dari kalangan habaib ada juga yang berguru kepada ulama Betawi. Seperti Habib Abdullah Syami, seorang allamah yang terpandang di Jakarta yang sangat dihormati kualitas keilmuannya sering datang mengaji di majelis-majelis ta`limnya muallim KH. M. Syafi`i Hadzami.

Interaksi yang terjadi antara habaib dan ulama di Betawi sangat cair dan harmonis dalam konsep kesetaraan. Sehingga bukan menjadi persoalan ketika mu`allim Radjiun Pekojan, seorang ulama Betawi, dapat menikahi seorang syarifah dari keluarga habaib. Sesuatu yang sulit terjadi di tempat lain. Begitu pula dengan masyarakat Betawi: kualitas penghormatan mereka terhadap habaib sama saja dengan kualitas penghormatan mereka terhadap ulama. Misalnya, di rumah-rumah orang Betawi, foto-foto yang terpasang bukan hanya foto para habaib tetapi juga ulamanya. Haulan seorang habib sama ramainya dengan haulan seorang ulama Betawi. Pola interaksi inilah yang menjadi warisan berharga untuk para penerusnya.

* * *

Trackback(0)
Comments (3)Add Comment
0
ingin numpang menjelaskan.
written by Abdul Rosid, August 20, 2009
assalamu Alaikum..
maaf saya ingin numpang menjelaskan.

setau saya tidak ada keturunan nabi..
karena Rasulallah SAW. tidak pernah menurunkan kenabiannya harap diingat..
Habib adalah nama salah satu suku dari hadralmaut Yaman.
sedangkan Ulama..ialah orang yang menyebarkan, mengajarkan, menjalankan ajaran-ajaran dan sunah-sunah NABI MUHAMMAD SAW.
0
kritik dan saran
written by ruli, March 04, 2009
assalamu`alaikum...
terkait dengan artikel mengenai habaib dan ulama betawi,saya ingin menyampaikan usul..bagaimana kalau sejarah hidup dan latar belakang berkembangnya islam di jabodetabek harus dikaitkan dengan guru besar KH. Ahmad Marzuki bin Mirshod (Cipinang Muara-Jakarta Timur) karena, ulama -ulama yang tertera dalam artikel tersebut merupakan murid2 beliau semua..
kenapa nama seorang guru besar yang memiliki jasa begitu besar dengan perkembangan islam di jakarta dan sekitarnya tidak pernah dipublikasikan..
makasih atas dimuatnya usul ini...wassalam
0
...
written by ibn Ahmad, February 13, 2009
Bada Tahmid Wa Shalawat. klo blh ane komentar, menurut ane pemaknaan antara Ulama dengan Habaib Betawi itu udah ngebawa qta untuk menDikotomikan keduanya, padahal Ulama itu adalah kata yang bersifat Umum sedangkan Habaib adalah bentuk khusus, siapapun bisa menjadi dan disebut Ulama baik di dari kalangan Habaib maupun Ajam (selain habaib) selagi org tersebut mmg mumpuni dlm keilmuan Islam, sedangkan untuk menjadi Habaib gak ada cara lain selain dari jalur nasab atawa keturunan. Nah untuk pemaknaan Betawinya sendiri, adalah suatu sistem sosial yang siapapun bs jd atawe boleh dinisbatkan sbg org Betawi, selama org tersebut mengakomodir nilai2 kebetawian dlm dirinya. Intinya, perlu ada pemaknaan yg lbh proporsional dr kalimat ULAMA dan HABAIB BETAWI, sebab Kyai Haji, Habib, Ustadz atau apapun sebutannya dan dgn tidak melihat keturunan dan nasabnya, selagi dia org Betawi dan Alim dlm mslh Diniyah dia adalah ULAMA BETAWI. Ane merasa perlu manuliskan ini karena kekhawatiran adanya "gap" atawe jarak antara qta sbg org Islam sekaligus org Betawi dari sebab Asal-usul qta, jd cukuplah qta berkata fulan adalah Ulama Betawi, baik beliau dr kalangan Habaib atau bukan,,, Wallahu A'lam.

Write comment

Tidak ada komentar:

Posting Komentar