Selasa, 21 September 2010

oleh M Shodiq Mustika

Sebagian orang muslim menyangka bahwa kita bisa siap nikah tanpa pacaran lebih dulu. Benarkah demikian? Persangkaan mereka itu keliru! Sebab, makna asli “pacaran” adalah “persiapan menikah”. Mengingat bahwa nikah merupakan langkah besar dalam kehidupan, kita pada umumnya takkan mungkin siap nikah tanpa mempersiapkannya.

Ada juga yang mengharamkan pacaran sebelum menikah karena menyangka bahwa “bentuk pacaran pasti tidak lepas dari perkara-perkara haram, khususnya zina” (sebagaimana dipaparkan di bawah ini). Persangkaan mereka ini juga keliru!

1) Kata mereka, “Pacaran adalah jalan menuju zina”. Dengan mengatakan ini, mereka sorongkan ayat “Dan janganlah kamu mendekati zina…” (QS Al Isra’: 32) Namun, mereka sama sekali tidak menyodorkan bukti yang meyakinkan bahwa pacaran itu identik dengan “jalan menuju zina”. Padahal, hasil penelitian ilmiah justru menunjukkan bahwa pacaran itu TIDAK identik dengan “mendekati zina”. (Lihat “Ciuman dengan Pacar (PR untuk Penentang Pacaran Islami)“.)

2) Kata mereka, “Pacaran melanggar perintah Allah untuk menundukkan pandangan.” Kita bisa menanggapi pernyataan mereka ini dengan dua pernyataan. Pertama, pacaran tidak harus dengan pandang-memandang. Jangankan cuma menundukkan pandangan. Tidak memandang sama sekali pun bisa diujudkan dalam pacaran. (Untuk contoh, lihat pacaran islami ala Ibnu Hazm dalam “Mengapa Sengaja Jauh di Mata“.) Kedua, perintah menundukkan pandangan itu berlaku untuk yang disertai dengan syahwat birahi. Bila tidak disertai dengan syahwat birahi, maka memandang lawan-jenis nonmuhrim (termasuk pacar) TIDAK haram. (Lihat fatwa Syaikh Qardhawi dalam “Bolehkah Laki-Laki Memandang Perempuan dan Sebaliknya?“)

3) Kata mereka, “Pacaran seringnya berdua-duaan (berkholwat).” Lagi, kita bisa menanggapi pernyataan mereka ini dengan dua pernyataan. Pertama, pacaran tidak harus dengan berdua-duaan. Pacaran bisa dilakukan bersama-sama dengan orang lain. (Untuk contoh, lihat “foto pacaran islami ala Kalimantan Selatan“.) Kedua, khalwat dengan lawan-jenis nonmuhrim tidak selalu terlarang. Ada kalanya khalwat itu diperbolehkan, yaitu bila dalam keadaan terawasi. (Lihat “Shahihnya Hadits Yang Membolehkan Berduaan“.)

4) Kata mereka, “Dalam pacaran, tangan pun ikut berzina [karena bersentuhan]“. Mereka menunjukkan dalil “… zina tangan adalah menyentuh …”. Padahal, yang dimaksudkan dalam dalil tersebut adalah yang disertai dengan syahwat birahi. Jadi, menyentuh tanpa disertai dengan syahwat birahi itu TIDAK tergolong zina tangan. (Lihat “Pengertian zina-hati dan mendekati-zina lainnya“.) Selain itu, tanpa bersentuhan pun pacaran bisa dilakukan. (Untuk contoh, lihat pacaran islami ala Ibnu Hazm dalam “Mengapa Sengaja Jauh di Mata“.)

Dengan demikian, tertolaklah argumentasi (hujjah) mereka yang mengharamkan segala jenis pacaran. Bagaimanapun, ada jenis pacaran yang yang terlarang (yang jahiliyah), tetapi ada juga jenis pacaran yang dibolehkan (yang islami).

  • Arsip per Bulan

apreasiasi

oleh M Shodiq Mustika

Sejumlah orang masih belum mengerti mengenai pacaran dalam Islam. Mereka menyangka: “Islam hanya mengenal ta’aruf sebelum pernikahan.” Lantas untuk menolak islamisasi pacaran, mereka pun mengajukan pertanyaan: “Apakah pernah Siti Khadijah pernah pacaran dengan Nabi Muhammad SAW sebelum menikah? Apakah pernah salah satu sahabat Rasullah SAW pernah pacaran sebelum menikah? Bukankah pacaran itu merupakan produk Barat?”

Berikut adalah tanggapan dan jawaban saya, M Shodiq Mustika:

Pacaran bukanlah produk Barat. Pada zaman Nabi Muhammad SAW pun sudah terdapat budaya “pacaran” (dalam arti “saling ekspresikan cinta”). Beliau tidak melarangnya, tetapi justru merestuinya. Lihat artikel Sikap Nabi terhadap Orang yang Ekspresikan Cinta.

Tidaklah benar bahwa Islam mensyariatkan “ta’aruf sebelum pernikahan”. Yang disyariatkan adalah tanazhur, yang kami sebut sebagai pacaran islami. Lihat artikel “Taaruf: Sebuah istilah yang asal keren?

Nabi Muhammad SAW dan para sahabat pun pernah “pacaran” (dalam arti “bercinta pra-khitbah“) sebelum menikah. Metode “pacaran” yang mereka gunakan adalah tanazhur (saling menaruh perhatian). Lihat, sekali lagi, artikel “Taaruf: Sebuah istilah yang asal keren?

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku telah diberi karunia dengan cintanya Khadijah kepadaku.” (HR Muslim, Bab “Keutamaan Khadijah”)

Ibnu al-Atsir menceritakan dalam Tarikh-nya bahwa setelah mendengar kabar tentang sifat-sifat Muhammad SAW, Siti Khadijah menawarkan kesempatan kepada beliau untuk membawa barang dagangannya ke Syam. Tawaran ini diterima dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar (daripada bila dibawa oleh orang lain). Lantas, Ibnu al-Atsir mengungkapkan “Siti Khadijah sangat gembira menerima keuntungan yang besar itu, tetapi kekagumannya kepada orang yang telah diujinya itu jauh lebih mendalam.” (Kekaguman yang mendalam inilah yang kita kenal sebagai rasa CINTA. Sedangkan ekspresinya kita sebut sebagai “bercinta“.)

Perhatikanlah bahwa diantara mereka berdua tidak hanya terjadi proses taaruf (dengan wawancara, observasi, dokumentasi, dsb). Diantara mereka ternyata terdapat pula “interaksi yang mendalam” dalam bentuk kerjasama bisnis. Interaksi yang mendalam seperti itulah salah satu perbedaan utama antara pacaran islami dan taaruf. Lihat artikel “Taaruf dan pacaran islami: Mana yang lebih efektif?

Pola pacaran islami (alias tanazhur) dengan model kerjasama ala Khadijah-Muhammad itu dapat kita jadikan teladan. Dengan si dia yang Anda sayangi, Anda dapat menjalin kerjasama bisnis, belajar bersama, atau pun melakukan kegiatan bersama lainnya yang membawa manfaat sebesar-besarnya. Justru kalau Anda hanya bertaaruf dengan si dia tanpa interaksi yang mendalam, maka Anda belum sepenuhnya memenuhi Sunnah Nabi tersebut.

pacaran

Islam Kok Pacaran

oleh Aliman Syahrani

Soal pacaran di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja memang harus ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa.

Selama ini tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah.

Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).

Bagaimanapun mereka yang berpacaran, jika kebebasan seksual da lam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri, maka dengan tegas mereka menolak. Namun, tidaklah demikian jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai alat untuk memilih pasangan hidup. Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya ketimbang maslahatnya. Satu contoh : orang berpacaran cenderung mengenang dianya. Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak terisi hal-hal semacam melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat kiriman dari orang tua. Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran itu ?

Atas dasar itulah ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !

Sudah banyak gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran menurut Islam diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW : "Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud).

Namun Islam juga, jelas-jelas menyatakan bahwa berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah, karena banyak segi mudharatnya. Setiap orang yang berpacaran cenderung untuk bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at ! Terhadap larangan melihat atau bergaul bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya: "Janganlah salah seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita, kecuali bersama dengan muhrimnya." Tabrani dan Al-Hakim dari Hudzaifah juga meriwayatkan dalam hadits yang lain: "Lirikan mata merupakan anak panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati."

Tapi mungkin juga ada di antara mereka yang mencoba "berdalih" dengan mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Abu Daud berikut : "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, atawa memberi karena Allah, dan tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya." Tarohlah mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tali iman yang kokoh, yang nggak bakalan terjerumus (terlalu) jauh dalam mengarungi "dunia berpacaran" mereka. Tapi kita juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi "perahu pacaran" itu ? Dan jika kita kembalikan lagi kepada hadits yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa yang mencintai karena Allah adalah salah satu aspek penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka itu mencintai satu sama lainnya benar-benar karena Allah ? Dan bagaimana mereka merealisasikan "mencintai karena Allah" tersebut ? Kalau (misalnya) ada acara bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai buka aurat (dalam arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek, atau yang lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai "mencintai karena Allah ?" Jawabnya jelas tidak !

Dalam kaitan ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya. Oleh karena itu sikap yang bijak bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah segera saja laksanakan.

Dikutip dari: http://www.indomedia.com/bpost/012000/24/opini/resensi.htm

Artikel II